WAKIDI: PERCIKAN HUMANISME DALAM KANVAS ROMANTISME

Wakidi ialah tokoh sentral lukis modern Indonesia setelah kepergian Raden Saleh. Wakidi seolah mengestapetkan perjuangan yang dirintis oleh Raden Saleh demi kemajuan Seni Rupa Indonesia. Wakidi lahir di Palembang, Sumatera Selatan.( http://id.wikipedia.org/wiki/Wakidi). Masa kecil Wakidi dihabiskan dengan melukis, dimulai dari umur 10tahun wakidi sudah gemar meniru lukisan Raden Saleh yang diperolehnya dari buku atau majalah. Itulah yang membawanya untuk bersekolah di Kweekshool Bukitinggi  yang lebih dikenal dengan sebutan sekolah Raja. Disekolah tersebut wakidi banyak berguru pada pelukis asal belanda  Van Dick (http://lizenhs.wordpress.com/2010/12/18/nasehat-pelikis-keturunan-semarang-dan-karyanya-tentang-alam-minang/) ilmu-ilmu yang didapatnya membuat wakidi memiliki spirit untuk mengajar. Spirit tersebut dimiliki wakidi dari persoalan yang dialami dirinya dan lingkungannya, inilah kepedulian awal wakidi sebagai seniman yang peduli akan nilai-nilai kemanusiaan. Karir kesenimanan Wakidi dihabiskan di Padang, hingga akhir hayatnya.

Penggayaan lukis Romanticism (Romantisme) atau lebih dikenal diIndonesia sendiri sebagai Mooi Indie (Hindia Molek) yang menjadi corak dalam karya-karya lukis Wakidi. Romanticism atau Romantisme itu sendiri adalah penggayaan karya seni khususnya seni lukis yang lebih menonjolkan keindahan visual dibandingkan cerita yang ada dibaliknya. Namun berebeda halnya dengan romantisme dalam karya Wakidi yang seolah-olah memberi argumen bahwa Romantisme hanyalah sebuah gaya lukis, jauh dibalik penggayaan Romantisme tersebut ada muatan yang lebih humanistik yang dikodekan dengan indahnya dalam potret landskap lukisan-lukisan Wakidi, salah satunya dalam karya “Floating Village”.

Gambar

 (Wakidi, Floating Village, 76 x 134 cm, Cat Minyak di atas Kanvas)

“Floating Village” menjadi salah satu karya diantara karya lain yang menonjol, dalam hal ini Satrio Hari Wicaksono yang juga pengajar Sejarah Seni Rupa Indonesia disalah satu perguruan tinggi seni swasta diBandung menjabarkan dalam salah satu artikelnya bertajuk “Analisis Kritik Terhadap Karya-Karya Seni Lukis Periode Mooi Indie (Studi Kasus Terhadap Karya-Karya Lukisan Pemandangan Alam Wakidi)” menurutnya, bahwa:

“Hampir seperti para seniman mooi indie lainnya, dalam proses berkaryanya Wakidi melakukan observasi dengan melakukan pendekatan langsung dengan pemandangan alam yang akan dilukiskannya….Wakidi berusaha untuk menghadirkan realitas keindahan pemandangan alam tersebut seobjektif mungkin walaupun dengan sedikit pendekatan subjektif seperti melakukan perubahan gelap-terang…dalam karya Floating Village, terdapat sedikit perbedaan yang mendasar, Wakidi lebih mengedepankan penggambaran problem yang terjadi dalam masyarakat seperti bencana banjir dalam karya tersebut. Walaupun gaya ungkapnya tak terlalu berbeda karena tetap menggunakan visualisasi tentang eksotika alam walaupun di saat banjir, namun penempatan warna yang sangat kusam mencerminkan perasaan sedih serta kesan yang suram dan miris. Selain itu, terjadi pergeseran fokus utama dalam karya ini yaitu hadirnya cerita tentang keadaan sosial masyarakat ketika terjadinya suatu bencana, seperti penggambaran orang yang sedang pindahan rumah. Meski pengejawantahannya terhitung sederhana namun aktivitas masyarakat jelas terdokumentasi secara baik dalam karya itu.”

(http://mbegedut.blogspot.com/2012/03/analisis-kritik-seni-lukis-mooi-indie.html)

Karya tersebut seolah membantah asumsi yang mengatakan bahwa seni lukis bergaya Romantisme hanya mengutarakan mengenai yang indah-indah saja tanpa peduli isu atau cerita lain dibalik gambaran lukisan yang diambilnya. Wakidi seolah ingin menjadikan Romantisme sebatas penggayaan saja, dimana dia hanya menyapukan keindahan diatas kanvas dengan penyematan simbol-simbol yang bisa saja terlihat dari warna yang kontras atau sebaliknya. Atau penyematan simbol alam yang telah menjadi ikon atas suatu kejadian dalam satu peristiwa tertentu.  kemasan yang indah tersebut  seolah-olah menjadi identitas dimasa apakah Wakidi berkarya, yang menurut filsuf dan penulis era romantik asal Jerman, Johann Gottfried Herder disebut dengan istilah zeitgeist (roh zaman), dimaksudkan bahwa suatu karya dalam satu era akan menjadi roh dari zaman tersebut.(http://en.wikipedia.org/wiki/Zeitgeist)

Bisa disimpulkan bahwa karya seni bagaimanapun juga adalah murni ekspresi si senimannya, apapun penggayaan dan ceritanya itu berpulang dari ide si senimannya. Seni bukanlah sebuah dogma atau perangkat provokasi, bilamana itu terjadi itulah kondisi dimana karya seni bukan dilihat dari esensinya tapi lebih mengedepankan nilai fungsinya dalam masyarakat. Sebagaiamana filsuf-filsuf besar seperti Plato, yang memaknai proses berkesenian sebagai memesis atau peniruan, atau Aroistoteles menyebutnya dengan khatarsis atau pemurnian, hingga filsuf dan juga bapak psikoanalisis era modern, Sigmund Freud yang berujar bahwa seni adalah mengenai sublimasi atau trasnformasi emosi. Kesemuanya itu adalah asumsi yang teramat subjektif dan perseptual, sama halnya seperti Wakidi yang memilih untuk mengindahkan suatu fenomena  dengan sapuan warna dengan bentukan alam , ciri khas seni era Romanticism.

-00-

 

Sumber

(http://id.wikipedia.org/wiki/Wakidi)

(http://lizenhs.wordpress.com/2010/12/18/nasehat-pelikis-keturunan-semarang-dan-karyanya-tentang-alam-minang/)

(http://en.wikipedia.org/wiki/Zeitgeist)

(http://mbegedut.blogspot.com/2012/03/analisis-kritik-seni-lukis-mooi-indie.html)

                                                                                    Cimahi, 28 Juli 2012

One thought on “WAKIDI: PERCIKAN HUMANISME DALAM KANVAS ROMANTISME

Leave a comment